Dewasa ini, banyak orang Minang yang tidak lagi mampu bertutur secara baik, sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku dalam kebudayaan yang mengikatnya. Tidak saja generasi muda, bahkan genersi tua pun demikian, apalagi, mereka yang menghabiskan umurnya di tanah rantau. Kebiasaan dan pola hidup di rantau telah mengikis nilai-nilai budaya yang berlaku dan mengikat pribadi orang Minangkabau. Bahkan tak jarang, ada juga orang Minang yang di rantau tidak lagi peduli kampung asalnya, Nagarinya.           
Merosotnya nilai-nilai normatif budaya Minangkabau dalam pribadi orang Minang dapat dilihat dari bahasa Minangkabau yang dipergunakan saat ini. Untuk berkomukasi antar sesama Minang, jarang atau bahkan bisa dikatakan tidak lagi ditemukan tata aturan berbahasa, menurut tingkatan usia dan kedudukan seseorang. Sifat egaliterian yang tersirat dalam bahasa Minangkabau dulu, kini hilang dan terganti dengan sifat “keakuan” yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi semata.
“Kato” dalam kebudayaan Minangkabau dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengacu pada norma dan aturan. Secara sederhana kato dapat diartikan sebagai sebuah tata aturan dalam berkomunikasi antar sesama komunikator se wangsa. Jadi, pantas apabila orang Minang yang tidak mengenal kato diartikan sebagai orang yang tidak mengenal sopan dan santun, atau urang nan indak tahu jo adat.
Media formal seperti balai adat, surau maupun media informal seperti lapau merupakan media yang berfungsi sebagai tempat untuk mengasah keterampilan seorang Minang dalam bertutur kata kepada sesama orang Minang lainnya. Di tempat-tempat itulah nantinya akan terlihat kedewasaan seseorang, karena dalam kebudayaan Minang ukuran kedewasaan ditentukan dari keterampilan seseorang dalam bertutur. Pada saat itulah orang tersebut dianggap “lah patuik diajak barundiang”. Kenapa demikian? Karena dilihat dari teknik berbahasa, terkandung nilai-nilai estetika yang tinggi. Irama dan jenis kata yang digunakan merupakan pilihan yang diperoleh dari pengalaman, bukan dari hapalan buku. Oleh karena itu rang mudo yang telah mampu menggunakan jenis bahasa ini dianggap telah dewasa, karena telah berpengalaman terutama sekali berpengalaman dalam pergaulan.
Aturan-aturan berbahasa –kato tadi– yang berlaku dalam kebudayaan Minangkabau, dikenal dengan istilah “tau jo nan ampek”. Kato Nan Ampek dibagi atas empat tingkatan dalam bahasa. Yakni: 1). Kato mandaki; tatakrama bertutur dengan orang yang lebih tua, 2). Kato Melereang; tatakrama bertutur kepada orang yang disegani, 3). Kato mandata; tatakrama bertutur kepada teman sebaya, dan 4). Kato manurun; tatakrama bertutur kepada orang yang lebih muda.
Jika demikian, bagaimana bentuk estetika bakato tersebut? Sekarang marilah kita simak bentuk estetis dari kato Minangkabau tersebut, yang penulis ambil dari kaba Minangkabau, yakni kaba Si Rambun Jalua yang diusahakan oleh Aj. Hamerster. Sedangkan alasan dipilihnya kaba sebagai objek tulisan ini adalah karena kaba si Rambun Jalua, termasuk salah satu jenis kaba modern Minangkabau. Sebagai kaba modern Minangakabau, kaba si Rambun Jalua mengangkat persoalan-persoalan duniawi kehidupan orang Minangkabau. Di dalamnya juga banyak terdapat bentuk-bentuk percakapan antar tokoh, yang mempergunakan kelas kato di atas.
Sinopsis kaba si Rambun Jalua; Kaba si Rambun Jalua menceritakan kisah Puti Nilan Cayo yang bersuamikan Sutan Badewa, mempunyai seorang anak perempuan bernama si Rambun Jalua, dan sedang mengandung, yang kelak apabila anak yang di dalam kandungannya tersebut lahir, maka akan diberi nama si Bujang Pamanai. Puti Nilam Cayo memiliki harta warisan yang berlimpah, namun, sayang suaminya yakni, Sutan Badewa adalah seorang yang bersifat buruk. Ia, Sutan Badewa, suka berjudi, menyabung ayam, mabuk-mabukkan, dan gemar bermain wanita. Harta warisan yang dimiliki oleh Puti Nilam Cayo lambat laun kian habis dipakai oleh Sutan Badewa untuk memuaskan nafsu duniawinya tersebut. Hingga suatu hari, akibat perlakuan suaminya itu, juga karena ia telah tidak memiliki harta lagi, Puti Nilam Cayo berniat untuk lari meninggalkan kampung halamannya, juga sanak keluarganya, termasuk anak sulungnya si Rambun Jalua. Puti Nilam Cayo, yang pada waktu itu masih mengandung, yang kelak anaknya itu diberi nama si Bujang Pamanai tadi, lari ke dalam hutan jauh, dan akhirnya menatap di sana.
Sampai di sini, sekarang mari kita lihat contoh dari jenis-jenis, dan atau tingkatan kato Minangkabau yang terdapat dalam kaba Si Rambun Jalua ini.
1). Kato mandaki; tatakrama bertutur dengan orang yang lebih tua, dalam kaba dapat kita temui salah satunya di halaman 16, yakni ketika si Bujang Pamanai bertanya kepada ibunya, Puti Nilam Cayo, tentang latar belakan kehidupan keluarganya, sanak familinya, dan alasan kenapa mereka tinggal di dalam hutan,
“…ooi, ande jo den diande, jokok baitu kato ande, batanyo hambo saketek, nan ande suruakkan itu jan pulo ande linduangkan. Cubo tarangkan pulo dek ande, malu ato nan di ka dibangkik, apokoh aik badan kito? Sabuah pulo diande barih luruih hambo batanyo. Sia bana bapak hambo? Di ma baliau kini? Di ma kampuang halaman kito? Manga diam dalam rimbo? Indak ado jorong kampuang, a bana mulo asonyo, mangko kito di siko? 
            Juga dapat ditemukan di halam 23-24, perbincangan antara Bujang Pamanai dengan Tuanku Sahiah, yakni ketika ia memohon kepada Tuanku Sahian untuk mengajarinya mengaji.
“…oo, Angku jo den di Angku, dangakan ambo katokan, bapantun ambo sabuah, pantunnyo rang mudo-mudo. Bukan ambo kinari sajo, kinari anak rang talang, bukan ambo kamari sajo, gadang makasuik ambo jalang…”“…ampun baribu kali ampun, ampunlah hambo di tuanku, makasuik hambo kamari nak mintak angku ajari, nak mintak angku tunjuaki, kaji qur’an jo khitab, sarato hadiah jo dalia, baiakpun mantiak jo maani…” 
2). Kato Melereang; tatakrama bertutur kepada orang yang disegani; Dalam kaba dapat ditemukan di halaman 19, yakni ketika Bujang Pamanai bertemu dan berbincang kepada orang yang tidak dikenalnya. Dari gambaran situasi yang ada, lawan bicara dari Bujang Pamanai tersebut tidak diketahui tingkatan umurnya, apakah lebih muda ataukah lebih tua, dari Bujang Pamanai, namun bahasa yang digunakan oleh Bujang Pamanai tidak juga menyatakan bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang lebih tua, maupun dengan orang yang lebih muda, sehingga penulis berkesimpulan bahasa yang dipergunakan tersebut adalah diperuntukkan kepada orang yang disegani, dengan alasan antara komunikan dan komunikator belum saling mengenal.
“…oo angku, urang manggaleh nan lalu nanko, ampun baribu kali ampun, hambo batanyo barih luruih, hambo mambali pajuali jokok, mamanintak dapek sajo…”“…Oo angku nan ganyo hambo, sabuah nan hambo tanyokan, di ma rumah urang malin, nan biaso maaja urang, maajakan kaji sarato mantiak, jaan maani, kok hiduik nan ka ditompang, mati nan ka dipagantuangi…” 
3). Kato mandata; tatakrama bertutur kepada teman sebaya, dapat ditemukan di halaman 33, yakni ketika Bujang Pamanai berbicara dengan si Rambun Kusuik. Tatkala sewaktu si Rambun Kusuik sedang asik menenun di beranda rumahnya.
“…mano rang mudo nan lalu ko, hambo batanyo di ka rang mudo, dari mano rang mudo datang, apo makasuik di sangajo, apo dicari ditanyokan…”“…Manolah nan batanyo hambo, hambo ko urang mularat, datang dari rimbo rayo, mancarikan pungguang tak basaok, kapalo indak batukuik, mancari upah jo gaji, itu makanyo hambo kamari…” 
4). Kato manurun; tatakrama bertutur kepada orang yang lebih muda; dalam hal ini, dapat dipahami yakni, baik orang yang lebih muda maupun orang yang lebih tua, dalam budaya Minangkabau, sama-sama memiliki tata aturang dalam berbicara. Dalam kaba dapat kita lihat di halaman 23, yakni saat Tuanku Sahiah bertanya tentang asal, kampung halaman kepada Bujang Pamanai.
“…Oo, buyuang nan baru datang, dari mano hendak ka mano, di ma kampuang halaman ang, nagari mano nan dihuni, apo makasuik di sangajo rang mudo datang kamari, cubo katokan pado hambo…”
Demikianlah contoh-contoh kato Minangkabau yang terdapat dalam kaba si Rambun Jalua. Sebenarnya masih banyak lagi yang dapat dituliskan, namun, mungkin contoh-contoh tersebut di atas dirasa telah cukup menggambarkan atau mewakili tingkatan kato yang berlaku di kebudayaan Minangkabau.
Pada prinsipnya, dari tulisan ini diharapkan lahir semacam kebijakan atau insiatif kita untuk melestarikan bahasa Minangkabau, yang tentunya bahasa yang mengandung unsur-unsur moral dan etika. Misalnya dengan memasukkan pelajaran Bahasa Minangkabau ke dalam kurikulum wajib (lokal), yang diperuntukkan bagi siswa tidak saja dari tingkatan sekolah dasar, bahkan sampai kepada tingkat sekolah menengah atas atau yang sejenis.
Karena, kurikulum muatan lokal yang berlaku pada saat ini, sangat minim muatan pembinaan kepada generasi muda. Apakah untuk pembinaan cukup dengan mengenal seni tradisi Minang? Atau cukup dengan mengetahui sejarah Minangkabau, yang katanya nenek moyangnya itu adalah Iskandar Zulkarnain. Saya rasa pembinaan paling pas untuk generasi muda Minangkabau adalah membekali siswa berbahasa Minang (etnik), karena dari bahasa itulah pada nantinya, secara tidak langsung akan juga dapat mempengaruhi mental dan kepribadian manusia

0 comments:

Post a Comment

 
Top